Pengasuhan
dan pendidikan anak di masyarakat selama ini sering diskriminatif. Anak
laki-laki memperoleh perhatian dan perlakuan lebih dibandingkan anak perempuan.
Anak laki-laki memiliki kesempatan belajar lebih banyak dibandingkan anak
perempuan. Anak laki-laki diusahakan dapat belajar setinggi-tingginya,
sementara anak perempuan cukup pandai membaca dan menulis. Ungkapan yang
popular di masyarakat adalah “Kamu anak laki-laki harus sekolah
Setinggi-tingginya, sebab kamu adalah tulang punggung keluarga.”
Dan ungkapan lainya, “Buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi ‘kan nantinya ke
dapur juga.”
Lebih rendahnya tingkat pendidikan perempuan terlihat pada statistic yang
menunjukkan bahwa jumlah perempuan tidak sekolah lebih besar dari pada
laki-laki (8% disbanding 4%); jumlah perempuan putus sekolah lebih besar
(16% disbanding 14%). Makin tinggi tingkat pendidikan makin kecil persentase
perempuanya. Ketimpangan pendidikan ini pada giliranya mengakibatkan perempuan
tertinggal dalam banyak hal dari laki-laki, terutama dalam hal pekerjaan dan konstribusinya
bagi pengembangan peradaban umat manusia.
Padahal agama mengajarkan untuk berlaku adil terhadap semua anak laki-laki
maupun perempuan, termasuk adil dalam memberikan kesempatan belajar, sesui
dengan potensi, kemampuan, bakat dan minat masing-masing. Rasulullah saw
sendiri mewajibkan kepada semua umatnya untuk menuntut ilmu (belajar) tanpa
membeakan laki-laki atau perempuan.
Kultur yang sangat diskriminatif tersebut tidak saja membatasi pengembangan
potensi akademik kalangan perempuan, namun menimbulkan ketidakadilan, hanya
karena alas an jender. Tidak heran kultur yang demikian menciptakan kepincangan
social, menumbuhsuburkan supremasi dan dominasi laki-laki, dan menenpatkan
perempuan dalam posisi subordinasi dan terpinggirkan. Padahal setiap anak
memiliki potensi, bakat dan minat yang patut dikembangkan , tanpa membedakan
apakah dia laki-laki atau perempuan. Rasulullah saw berpesan:
Ajarkanlah
kebaikan (moral dan etika) kepada anak-anakmu (laki-laki dan perempuan) dan
keluargamu dan didiklah memberi kesempatan belajar mereka (H.r. Abdur
Razzaq dan salid ibn Mansur).
Masa berikutnya dari pengasuhan anak ini adalah masa kelahiran dan pertumbuhan
bayi sejak dini. Dalam ajaran islam, masa kelahiran bayi merupakan momentum
awal komunikasi langsung antara orang tua dengan anak. Ketika masih dalam
kandungan komunikasi berlangsung lebih dengan perasaan dan sentuhan emosi,
sementara ketika sudah lahir komunikasi mulai terjadi secara langsung.
Diajarkan bahwa komunikasi pertama sebaiknya dilakukan adalah dengan
mengenalkan agama dengan cara menyuarakan azan di telinga sang bayi yang baru
lahir.
Pada masa kelahiran dan pertumbuhan bayi ini secara alamiah peranan ibu sangat
penting terutama dalam proses penyusuan sang bayi. Namun demikian, sang ayah
pun dapat melatih komunikasi dengan anak melalui sentuhan yang hangat. Dalam
proses penyusuan ini pengasuhan anak secara fisik mulai berlangsung dalam
lingkungan keluarga. Orang tua, khusunya ibu, sebaiknya memanfaatkan masa penyusuan
itu secara optimal dengan cara menyusuinya sendiri. Para ahli sepakat bahwa air
susu ibu sangat bagus bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Baik secara fisik maupun non fisik. Sangatlah bisa dipahami jika Al’Qur’an
memberikan penekanan khusus mengenai hal ini ibu-ibu hendaknya menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun), dengan kerelaan keduanya dan musyawarah, maka
tidak ada dosa.
No comments:
Post a Comment