Kenyataan
menunjukkan bahwa struktur sosial yang ada menumbuhkan perlakuan
diskriminatif yang menempatkan perempuan (istri) didalam sektor domestik
(kerumahtanggaan), sementara laki-laki (suami) sebagai kepala keluarga
menangani urusan publik. Dalam posisi seperti itu, sang istri harus bergantung
kepada suami mengingat urusan keluarga dalam kenyataanya sangat dipengaruhi
oleh urusan publik Apa yang diputuskan suami untuk kepentingan urusan public
itu harus menjadi pertimbangan utama bagi sang istri dalam mengatur urusan keluarga.
Kenyataan itu tentu merupakan problem sosial dan kultural yang diwarisi
terus-menerus dari generasi ke generasi.
Secara
ideal, Islam memiliki pandangan kesetaraan yang cukup tegas mengenai hubungan
dan tugas antara suami dan istri, antara laki-laki dan perempuan. Pandangan
kesetaraan itu dapat dilihat dalam sejumlah ayat al-Qur’an, misalnya penyebutan
tentang asal kejadian manusia, baik laki-laki dan perempuan Disana disebutkan
bahwa keduanya berasal atau diciptakan dari jenis yang sama (minnafs wahidah),
sehingga mereka semua memiliki hak yang sama pula. Dalam al-Qur’an Allah
menegaskan: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhanmu yang telah
menciptakanmu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasanganya.
Dan dari keduanya allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. (Qs. An-Nisa’/4: 1).
Perbedaan
fungsi biologis antara laki-laki dan perempuan tidak berarti membedakan status
dan kedudukan yang setara antara keduanya. Mengenai hal yang terakhir
diisyaratkan dalam al-Qur’an bahwa Allah telah memuliakan anak Adam. Yang
dimaksud dengan anak adam disini adalah manusia laki-laki dan perempuan.
Dalam menentukan kualitas keagamaan, Islam tidak membedakan atas dasar jender
laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya semua manusia dari kedua jenis kelamin
itu memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat keberagaman yang
tinggi. Setiap amal perbuatan tergantung pada niat, syarat, rukun serta tata
caranya (kaifiyah), Artinya setiap ibadah mahdhah ataupun ibadah social
sifatnya sangat individual di hadapan Allah swt.
Dinyatakan dalam firman Allah
Qs. Al-ahzab/33: 35: Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap pada ketaatanya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, , laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki
dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan kepada
mereka ampunan dan pahala yang besar.
Dalam beberapa ayat yang lain, al-Qur’an
menampilkan citra laki-laki yang memiliki kelebihan dari pada perempuan. Namun
demikian, beberapa penafsir dapat meyakinkan bahwa fenomena keunggulan
laki-laki dan perempuan itu bukan dalam konteks yang bersifat nature, dan dapat
berubah dilihat dari sudut jender. Latar belakang social dan cultural dari
peristiwa yang digambarkan dalam Al-Qur’an merupakan konteks yang terus
mengalami perubahan. Al-Qur’an misalnya menyebutkan, “Laki-laki adalah pemberi
nafkah perempuan, karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang
lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka untuk perempuan.
Para penafsir menyebutkan bahwa keunggulan dalam
hal pencaharian ini adalah sesuatu yang situasional, bukan karena masalah jenis
kelamin. Dalam situasi yang mendukung, seorang perempuan pun dimungkinkan
memperoleh nafkah yang lebih banyak dari pada suaminya. Dalam konteks hubungan
suami-istri, kesetaraan jender itu terlihat pada hak-hak perempuan yang tidak
bisa disepelekan atas hak laki-laki. Hak pemilikan atas mahar sepenuhnya berada
di tangan istri.
No comments:
Post a Comment