Sunday, April 14, 2013

Cara Kesetaraan Suami Dan Istri Dalam Islam

Kenyataan menunjukkan bahwa struktur sosial yang ada menumbuhkan perlakuan diskriminatif  yang menempatkan perempuan (istri) didalam sektor domestik (kerumahtanggaan), sementara laki-laki (suami) sebagai kepala keluarga menangani urusan publik. Dalam posisi seperti itu, sang istri harus bergantung kepada suami mengingat urusan keluarga dalam kenyataanya sangat dipengaruhi oleh urusan publik Apa yang diputuskan suami untuk kepentingan urusan public itu harus menjadi pertimbangan utama bagi sang istri dalam mengatur urusan keluarga. Kenyataan itu tentu merupakan problem sosial dan kultural yang diwarisi terus-menerus dari generasi ke generasi. 

Secara ideal, Islam memiliki pandangan kesetaraan yang cukup tegas mengenai hubungan dan tugas antara suami dan istri, antara laki-laki dan perempuan. Pandangan kesetaraan itu dapat dilihat dalam sejumlah ayat al-Qur’an, misalnya penyebutan tentang asal kejadian manusia, baik laki-laki dan perempuan Disana disebutkan bahwa keduanya berasal atau diciptakan dari jenis yang sama (minnafs wahidah), sehingga mereka semua memiliki hak yang sama pula. Dalam al-Qur’an Allah menegaskan: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasanganya. Dan dari keduanya allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (Qs. An-Nisa’/4: 1). 

Perbedaan fungsi biologis antara laki-laki dan perempuan tidak berarti membedakan status dan kedudukan yang setara antara keduanya. Mengenai hal yang terakhir diisyaratkan dalam al-Qur’an bahwa Allah telah memuliakan anak Adam. Yang dimaksud dengan anak adam disini adalah manusia laki-laki dan perempuan. Dalam menentukan kualitas keagamaan, Islam tidak membedakan atas dasar jender laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya semua manusia dari kedua jenis kelamin itu memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat keberagaman yang tinggi. Setiap amal perbuatan tergantung pada niat, syarat, rukun serta tata caranya (kaifiyah), Artinya setiap ibadah mahdhah ataupun ibadah social sifatnya sangat individual di hadapan Allah swt. 

Dinyatakan dalam firman Allah Qs. Al-ahzab/33: 35: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap pada ketaatanya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, , laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan kepada mereka ampunan dan pahala yang besar. 

Dalam beberapa ayat yang lain, al-Qur’an menampilkan citra laki-laki yang memiliki kelebihan dari pada perempuan. Namun demikian, beberapa penafsir dapat meyakinkan bahwa fenomena keunggulan laki-laki dan perempuan itu bukan dalam konteks yang bersifat nature, dan dapat berubah dilihat dari sudut jender. Latar belakang social dan cultural dari peristiwa yang digambarkan dalam Al-Qur’an merupakan konteks yang terus mengalami perubahan. Al-Qur’an misalnya menyebutkan, “Laki-laki adalah pemberi nafkah perempuan, karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka untuk perempuan.

Para penafsir menyebutkan bahwa keunggulan dalam hal pencaharian ini adalah sesuatu yang situasional, bukan karena masalah jenis kelamin. Dalam situasi yang mendukung, seorang perempuan pun dimungkinkan memperoleh nafkah yang lebih banyak dari pada suaminya. Dalam konteks hubungan suami-istri, kesetaraan jender itu terlihat pada hak-hak perempuan yang tidak bisa disepelekan atas hak laki-laki. Hak pemilikan atas mahar sepenuhnya berada di tangan istri.

No comments:

Post a Comment